Blunder Gerakan Politik dan Pertaruhan Nama Baik “Alumni 212” di Pilgub Jawa Timur

Gerakan yang dinamakan “bela Islam” 212 telah berlalu. Berkumpulnya massa di Monas Jakarta, yang pada saat itu digerakkan oleh dahsyatnya mukjizat Al-Quran, surat Al-Maidah sebagai bukti bahwa Al-Quran adalah benar-benar wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT lewat Jibril as kepada Nabi Muhammad Saw sebagai pedoman dan mukjizat bagi umat Islam.

MUI, yang dinahkodai oleh KH Ma’ruf Amin sebagai institusi resmi yang mengawali sebagai alasan penggerakan massa pun telah landing. Masyarakat (khususnya umat Islam) yang ikut berbondong-bondong mendatangi gerakan itu, dengan niatan yang murni dan tulus pun telah kembali kepada dirinya masing-masing. Karena apa yang dituntut dalam penggerakan massa pada saat itu telah selesai, pun pula telah berhasil mengantarkan Anis-Sandi ke kursi nomer 1 dan 2 pemerintah propinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia.

Dan sekarang telah dimulai secara alami dengan dimunculkan bermacam-macam niat dari masing-masing individu dan kelompok di dalam mengikuti gerakan yang pada saat itu dinamakan gerakan “bela islam” 212 yang dilakukan berjilid-jilid. Bagi mereka, orang biasa yang sangat mencintai Allah dan RasulNya, maka didalam mengikuti gerakan tersebut murni demi membela agama Allah, dan mereka telah berbahagia.

Adapun kelompok lain, yang ternyata di dalam melakukan pergerakan adalah ada motif ganda, atau lebih tepatnya diniatkan untuk gerakan politik praktis (perebutan kekuasaan), bukan politik kebangsaan yang lebih mulia, maka mereka terus melakukan pergerakan dengan membawa bendera “bela Islam” yang suci. Mereka membuat rekomendasi yang mengatasnamakan dengan sebutan “para ulama” untuk suatu tujuan merebut kekuasaan. Apakah hal ini salah? Tentu tidak. Akan tetapi, manakala terjadi sesuatu yang ternyata tidak tepat, yang kemudian diekspos ke publik dan viral, maka yang terjadi bukan sesuatu hal yang menambah nilai kebaikannya, melainkan malah menjadi blunder, maka yang terjadi adalah laksana menorehkan kegelapan di dalam terangnya keadaan. Merobohkan bangunan yang telah dibangun.

Kejadian di Jawa Timur, yang dipicu oleh nyanyian seorang La Nyalla Mattaliti, dikarenakan gagal maju sebagai Calon Gubernur di Jawa Timur yang sedianya diusung oleh Partai Gerindra, yang kemudian mengadu kepada “alumni 212” adalah sesuatu hal yang sangat memalukan. Akan tetapi begitulah skenario Alloh di dalam melakukan hak kekuasaanNya.  Allah ingin menunjukkan siapa yang berhijrah karena Allah dan RasulNya, dan siapa yang berhijrah karena harta dunia.

Dari kejadian di Jawa Timur, berarti gerakan politik yang dilakukan oleh yang mengatasnamakan “alumni 212” sebenarnya tidak mencerminkan kepantasan sebagai ahli politik dan ahli strategi yang layak untuk menamakan dirinya sebagai “ulama”. Karena, ulama seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah yang tidak demikian. Paling tidak, yang dinamakan ulama adalah mereka yang telah berilmu dan memiliki kecerdasan tersendiri yang sudah barang tentu melebihi orang-orang biasa lainnya. Memiliki kalkulasi matang di dalam setiap gerak dan langkahnya.

Dengan tidak ada niat merendahkan seseorang, melainkan hanya sekedar mengulas secara obyektif, bahwa rekomendasi yang dilakukan oleh mereka yang mengatasnamakan dirinya “para ulama” tersebut adalah sangat tidak strategis dan sangat tidak taktis. Dan sungguh jauh dari kecerdasan sebagai “ulama”. Di Jawa Timur, La Nyalla Mattaliti tidak memiliki akar rumput (grass root) yang kuat, bahkan cenderung sangat lemah. Prestasi pun  tidak pernah ditorehkan olehnya di propinsi yang notabene adalah basis Nahdlatul Ulama ini. Bahkan semua tahu, bahwa La Nyalla Mattaliti pernah tersandung kasus hukum. Secara kalkulasi politik, jelas bahwa La Nyalla Mattaliti tidak masuk di dalam perhitungan sebagai petarung yang layak dimasukkan ke dalam ring pertarungan dengan lawan Saifullah Yusuf dan Khofifah Indarparawansa.

Penolakan Gerindra terhadap rekomendasi  dari yang menahbiskan diri sebagai kelompok para “ulama” tersebut adalah sesuatu yang sangat logis dan memang begitulah yang seharusnya dilakukan oleh Gerindra. Gerindra, PAN dan PKS adalah murni partai politik yang telah lama melakukan gerakan yang secara teknik telah memiliki kepiawaian di dalam melakukan kalkulasi politik. Maka, mereka tidak mungkin akan mengorbankan dirinya. Gus Ipul dan Khofifah adalah sosok yang jelas jauh melampaui La Nyalla Mattaliti di dalam percaturan politik nasional. Siapa saja partai yang ingin mengusung calon gubernur lain, maka calon gubernur itu harus minimal dapat menyamai kapasitas mereka berdua. Di sinilah ketidakjelian para pemberi rekomendasi. Dan apalagi mengaku sebagai kelompok “para ulama”.

Maka, yang sangat disayangkan dan disesalkan di dalam kejadian ini adalah apa yang telah dilakukan oleh sekelompok orang  yang menamakan diri sebagai “alumni 212”. Apalagi dengan menyebut dirinya sebagai “ulama”, yang ternyata sangat jauh dari kapasitas. Yang lebih tepat, janganlah menamakan diri sebagai “ulama”, akan lebih mulia manakala menamakan dirinya sebagai “yang lemah”. Atau yang lebih baik kelompok ini tetap berada di dalam relnya, sebagai kelompok pen-dakwah agama. Biarkan urusan politik kekuasaan diperankan oleh ahlinya.

Semoga bermanfaat.

Editor: Imam Jumhuri (M Jumani Emje)

Leave a comment