Mencari Akar Faktual Konsep Politik Islam

Hubungan antara agama dan politik dalam sejarah Islam sejak awalnya merupakan fenomena yang menarik. Kenyataan ini menjadi dasar tumbuhnya pandangan umum yang merata bahwa Islam adalah agama yang terkait erat dengan politik dan kenegaraan. Timbul kemudian ungkapan problematik Islam adalah agama dan negara, al-islam din wa-daulah.

Setidaknya kemudian ada dua konsep faktual yang muncul. Pertama, konsep khilafah (orangnya disebut khalifah) dan imamah (orangnya disebut imam). Secara teoritis kedua konsep tersebut memang tidak kurang sengitnya dipersoalkan. Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) menulis buku tebal sebanyak empat jilid Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah fi Naqdi Kalam asy-Syia’ah wa Qadariyyah yang isinya antara lain menyerang kedua konsep. Buku yang ditulis untuk menjawab Jamaluddin al-Hilli dari golongan Syi’ah dalam buku Minhaj al-Karamah fi Ma’rifah al-Imamah, bukan hanya menyerang konsep imamah dari golongan Syi’ah, bahkan konsep khilafah dari golongan Sunni sendiri diserang habis-habisan.

Dalam perkembangan sejarah ada dua hal yang perlu dicatat mengenai konsep khilafah ini. Pertama, munculnya kesultanan (sultanah) baru yang berkuasa di daerah-daerah dan mereka tunduk kepada khalifah yang berkedudukan di pusat pemerintahan. Kepatuhan ini ditandai dengan upacara resmi pengesahan sultanah dan biasanya diikuti dengan penyerahan zakat dan rampasan perang yang berhasil dikumpulkan sultan. Kedua, pada masa tertentu khilafah tidak lagi tunggal atau bersifat sentral karena muncul dua khilafah lain, yaitu Fatimiyyah di Mesir dan Umayyah di Spanyol, selain Abbasiyah sendiri di Baghdad. Setelah itu dunia Islam kembali hanya mengenal satu khilafah sentral yang berpusat di Turki di bawah kekuasaan Ottoman (Usmani) yang akhirnya dimakzulkan oleh Mustafa Kamal, pemimpin nasionalis Turki, tahun 1924.

Melalui proses sejarah yang panjang dan rumit akhirnya kelembagaan khilafah dan sultanah memperoleh bentuk yang mapan dan dianut secara resmi, khususnya di lingkungan Sunni, bahkan diakui memiliki legitimasi kebenaran agama.

Lembaga khilafah dipandang sebagai lembaga kekuasaan yang memiliki otoritas keagamaan, memiliki kewenangan untuk mengaplikasi ajaran agama ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan memberi legitimasi keabsahan dari sudut pandangan agama (hukum) terhadap semua perilaku lembaga-lembaga sosial lainnya. Adapun sultanah dipandang sebagai lembaga politik dan kekuasaan duniawi yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan bersama dalam suatu tata sosial luas (dalam arti juga negara), namun demikian lembaga itu menjalankan kekuasaannya setelah mendapat pengesahan dari khalifah.

Pasang surut memang seringkali terjadi, sebab kemungkinan seorang khalifah karena berbagai alasan, tidak berdaya untuk tidak memberi pengesahan kepada seorang sultan. Khalifah-khalifah di Baghdad mulanya menjabat sekaligus kedua lembaga itu, sebagai khalifah sekaligus sulthan untuk suatu wilayah tertentu, dan wilayah lain dijabat sultan lain tetapi masih dalam wilayah khilafah Baghdad. Akhirnya khalifah hanya menjabat satu kedudukan, khilafah saja tanpa sulthanah. Pada zaman Banu Saljuk, sultan-sultan mereka menguasai Baghdad penuh di mana khalifah bertempat tinggal.

Mengenai siapa yang berwenang memegang kekuasaan khilafah, konsep hukum yang diterima ketika ia harus dari keturunan Quraisy. Konsep ini didasarkan kepada hadis sahih riwayat Bukhari al-a’imamah min Quraisy, kepemimpinan (kekuasaan) yang sah dari keturunan Quraisy. Di belakang hari makna Quraisy tidak diterjemahkan secara harfiah, tetapi berarti kemampuan. Kabilah Quraisy-lah ketika itu yang dipandang memiliki “kemampuan” untuk memegang kekuasaan setelah Nabi Muhammad, sebab dari kabilah lain tidak memungkinkan terjaminnya kesatuan ummah untuk memelihara sistem kekuasaan yang diwarisi dari Nabi Muhammad.

Konsep politik dan kekuasaan yang dilihat dari perspektif hukum (fikih) ini kemudian menjabarkan arti hadis di atas dalam bentuk kelembagaan khilafah dan sulthanah bahwa kekuasaan yang sah adalah kekuasaan khilafah. Seorang pemegang kekuasaan khilafah mesti dari keturunan Quraisy, suku mana Nabi Muhammad berasal, sedang pemegang kekuasaan sultahanah tidak harus demikian.

Bukti-bukti sejarah mengungkapkan, bahwa kejatuhan khalifah terakhir dinasti Umayyah pada abad VIII dilakukan oleh keturunan yang sama walaupun dari kakek moyang yang berbeda. Dinasti Mamalik di Mesir abad XIII dengan susah payah menjemput keturunan Abbasiyah yang terakhir untuk dinobatkan menjadi khalifah di Mesir. Sultan Salim dari Turki memboyong Khalifah al-Mutawakkil untuk diangkat menjadi khalifah di Turki.

Pada masa kesultanan Turki ini konsep Quraisy itu berakhir, sebab pemegang kekuasaan khilafah selanjutnya berasal dari keturunan Salim sendiri yang tidak berdarah Quraisy. Institusi khilafah tetap satu dan sentral dalam dunia Islam yang dipegang oleh dinasti Usmani di Turki, sampai dimakzulkan oleh Mustafa Kamal.

 

Gelar Sultan Raja-Raja Islam di Jawa

Pemakaian gelar Sultan Demak Trenggana kemudian raja Banten dan Mataram jika dilihat dari perkembangan konsep politik Islam yang faktual di Timur Tengah pada abad yang sama, nampaknya bukanlah tanpa signifikansi keagamaan. Walaupun Sultan merupakan lembaga politik yang bersifat duniawi, tetapi betapapun tidak bisa melepaskan fungsi keagamaannya. Berbagai fungsi ini seperti pengangkatan kadi (gadi/hakim), pemungutan zakat, sadaqah atau pajak  yang perkara faslul-khusumat (sengketa perkara yang memerlukan hakim) dan lain-lain, memerlukan perangkat struktural kerajaan di bawah wewenang sultan. Semua hal tersebut secara langsung menyangkut bidang keagamaan yang bertalian dengan kehidupan masyarakat. Dengan demikian maka sultan memerlukan legitimasi keagamaan untuk dapat melaksanakan fungsinya secara sah menurut agama. Dalam kaitan inilah raja-raja Mataram kemudian diberi sebutan Kalifatullah Panatagama ing Bumi (Tanah Jawi) di belakang nama kebesarannya.

De Graaf dan Pigeaud mengungkapkan keterangan bahwa gelar sultan raja-raja Islam di Jawa tidak diterima dari Turki Utsmani. Raja Trenggana menerima gelar dari seorang Wali Syekh Nurullah yang disebut kemudian dengan Sunan Gunung Jati. Panembahan Senapati dan Jaka Tingkir menerima gelar dari Sunan Giri. Sultan Agung Mataram dan raja Banten bahkan berusaha memperoleh gelar sultan dari Makkah.

Memang akhirnya De Graaf sendiri meragukan berita itu karena keterangan pemberian gelar itu baru diungkapkan dalam naskah tertua Babat Tanah Jawi yang disusun kemudian jauh sesudah peristiwa itu sendiri terjadi. Penulisan sejarahnya menurut De Graaf kemungkinan diolah sedemikian rupa sehingga kerajaan Mataram yang luas itu memperoleh legitimasi kekuasaannya sejak zaman keemasan Mataram yang terdahulu.

Barangkali keraguan De Graaf itu benar karena ketiadaan bukti yang bisa dilacak untuk mempercayai kebenaran pemberian gelar sultan raja-raja Islam di Jawa dan kemungkinan pemberian gelar itu diterima dari khalifah di Turki. Kontroversi ini rasanya kurang beralasan jika dihubungkan dengan kenyataan raja-raja Islam Melayu yang menerima  gelar dari khalifah dari Turki dan disebutkan adanya kontak-kontak diplomatik diantara mereka. Selain diungkapkan adanya lembaga kepenghuluan dalam struktur kerajaan di Jawa, Lembaga ini berperan sebagai mata rantai kekuasaan raja untuk mengatur masalah-masalah keagamaan dan hukum yang bersumber dari agama. Fakta-fakta ini agaknya mendukung hubungannya dengan konsep Sulthanah di atas.

Kekuasaan penghulu ketika itu bukan hanya soal nikah atau waris, tetapi meliputi pula soal pidana dan mengatasi persengketaan hukum sebagai seorang hakim dan lain-lain. Tidak seluruh konsep hukum agama dilaksanakan, memang , sebab suatu peraturan dan tata laksana pemerintahan yang disusun Senapati Jimbun, raja Demak, memiliki persamaan dengan naskah-naskah kuna Jawa Salokantara.

Pijper mengungkapkan, adanya lembaga kepenghuluan ini sudah ada sejak tahun 1615 di Banten. Struktur penghulu bertingkat-tingkat mengikuti tingkat pemerintahan kerajaan. Setelah zaman Belanda, penghulu tertinggi disebut penghulu kepala. Di bawahnya ada penghulu distrik atau disebut na’ib (wakil).

Pada zaman Belanda terjadi dualisme kepenghuluan. Satu pihak Belanda mengangkat penghulu yang secara administratif di bawah kekuasaannya, di pihak lain ada pejabat penghulu di kraton. Pertentangan pun juga pernah terjadi, bukan saja antara kedua lembaga itu, tetapi antara mereka dengan kaum ulama yang berada di luar birokrasi. Mereka beranggapan pejabat-pejabat penghulu itu bekerja pada pemerintahan yang kafir.

Seementara itu alasan yang dikemukakan penghulu di bawah pemerintah Belanda, lembaga tersebut merupakan alternatif pemecahan, sebab bagaimanapun kekuasaan sultanah itu perlu ada untuk menjamin kemungkinan hukum agama dijalankan. Tanpa kekuasaan itu akan timbul anarkosme dan ketidakteraturan pelaksanaan hukum agama. Dengan demikian lembaga penghulu diterima sebagai keadaan darurat, tidak boleh tidak, karena pemerintah yang berkuasa tidak Islam.

Dalam konsep fikih kekuasaan semacam ini disebut waliyyul-amr ad-daruri zu-syaukah (dengan kata zu), suatu kekuasaan politik yang riil yang dinilai tidak Islam di tengah masyarakat muslim yang tidak berdaya untuk membangun kekuasaan politik sendiri.

 

Departemen Agama

Setelah pembentukan negara RI diproklamirkan, pola pandangan keagamaan yang menghendaki penyelesaian politik di bagian mana agama berada dalam sebuah negara, dan sebaliknya bagaimana negara itu secara maksimal diterima memenuhi konsep keagamaan, muncul kembali ke permukaan. Mulanya perjuangan politik diarahkan untuk memperoleh bentuk negara yang penuh menurut konsep agama. Perjuangan dilakukan dengan upaya meletakkan dasar Islam ke dalam konstitusi negara ketika berlangsung perdebatan untuk menyusun dasar-dasar pokok konstitusi yang hendak ditumbuhkan ke dalam negara yang baru dibentuk. Setelah upaya itu gagal, maka tuntutan adanya kementerian agama diperjuangkan untuk mengisi kekosongan legitimasi keagamaan yang dianggap penting dan menjamin diberlakukannya sebagian hukum agama (kalau tidak bisa seluruhnya).

Tidak diragukan lagi bahwa kementerian agama (sekarang Departemen Agama) ini merupakan kepanjangan dari lembaga penghulu yang sudah ada sejak zaman kerajaan Islam terdahulu. Hanya perbedaannya, lembaga kepenghuluan zaman Belanda menempel pada pemerintah yang kafir, sedang kementerian agama tidak demikian. Tetapi dua-duanya lahir dari konsep keagamaan untuk memberi jawaban mengenai kemelut hubungan agama dan negara (kekuasaan), bukanlah tanpa alasan. Bahwa pemecahan itu bukanlah yang terbaik yang secara maksimal memenuhi konsep keagamaan yang ada, bukan menjadi soal. Usaha ke arah ini pun kemudian dilakukan dalam perdebatan sidang konstituante yang memang memiliki kewenangan menurut kesepakatan aturan permainan yang telah disetujui bersama.

Sampai awal tahun 1950-an konsep keagamaan yang akhirnya muncul beranggapan bahwa negara RI yang baru lahir itu belumlah mencukupi persyaratan maksimal konsep Sulthanah yang sah. Meskipun demikian tidak berarti negara itu bukan Islam atau kafir. Menghadapi jalan buntu ini, konfrensi alim-ulama tahun 1954 memberi jalan keluar dengan keputusannya, lembaga kenegaraan Presiden RI sebagai waliyullah amr ad-dlaruri bisy-syaukah. Sebutan dengan kata ‘bi’ yang kemudian dirangkai menjadi bisy-syaukah berbeda dengan sebutan sebelumnya zu-syaukah. Dua kekuasaan negara atau politik yang riil di tengah masyarakat muslim tetapi berbeda karena yang pertama pejabat-pejabatnya bukan orang Islam, sedang yang kedua orang Islam sendiri.

Mulai saat itu sampai tahun 1980-an terjadi statusquo, tidak jelas bagaimana resminya kedudukan negara RI menurut konsep (hukum) agama. Dan pada tahun 1980-an inilah Rais Am Syuriah PBNU, KH Achmad Shiddiq, atas nama organisasinya menegaskan bahwa negara RI yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 adalah sah menurut hukum agama. Dengan demikian negara RI telah memiliki legitimasi keagamaan sebagai Sulthanah yang sah dan berwenang menjalankan hukum agama. Diantara konsekuensinya, dalam batas-batas tertentu, kekuasaan negara wajib untuk ditaati sebagai kewajiban untuk taat kepada ulul amri yang ditegaskan dalam Alquran.

Perspektif pandangan keagamaan yang melihat suatu sistem politik dari segi sah tidaknya suatu struktur lembaga poltik yang ada, baik berupa kerajaan maupun negara, memang terasa sangat formal sekali. Tetapi itulah kenyataan yang senantiasa terjadi dalam rentangan waktu yang sangat panjang di tengah ketidakmampuan para pemikir politik Islam mewujudkan konsep pemikiran politik mereka secara nyata. Masalah politik mengenai hubungan antara agama dan negara secara terus menerus hanya mampu dipecahkan dengan melihatnya dari perspektif hukum agama mengenai amal dan ibadah yang memang bisa ditarik dari segi pandangan ini.

Oleh : Ali Haidar

sumber: Majalah AULA No. 53/Maret 1989

Leave a comment